Karantina

20200316_084347

 

Saya masih takjub dengan betapa cepat wajah dunia berubah. Bahkan hanya dalam hitungan bulan. Tren mobilitas berubah, termasuk gaya hidup, pola konsumsi, keperdulian terhadap kebersihan dan sanitasi, termasuk mulai hilangnya gestur sapaan seperti cipika-cipiki. Kabar baiknya orang yang sudah nggak mau salaman dengan bukan mahram sudah bukan sesuatu yang aneh lagi, yeay! *eh 🤭
Padahal dalam situasi normal, merubah kultur ini ga gampang. Seperti kultur liburan misalnya. Sebelum wabah ini datang, pandangan orang mengerucut pada kesimpulan bahwa piknik merupakan kebutuhan dasar setiap jiwa.

“Ora piknik ora asik.”

“Kurang piknik membuat raine pucet.”

“Piknik dhisik ben ora ngamukan.”

Dan seterusnya. Ga bisa liat tanggal merah dikit, semua orang bingung ingin keluar rumah, termasuk saya. Karena nomaden, rasanya tiap pindah kota belum afdol kalau tidak menjelajah dari hulu ke hilir. Apalagi Jogja ini tempat wisata banyak banget. Mulai dari museum, spot instagramable, wisata sejarah, tempat outbond, gunung, pantai, hutan, semua jadi obyek wisata. Bagaimana gak mupeng kan, dasarnya ibuk Sara seneng mbolang. Sebenarnya mindsetnya simple, mumpung mbolangnya ga butuh keluar duit banyak, dekat, dan santai ga diburu waktu macem turis kalo lagi plesiran. Cuma gitu aja sebenarnya. Kalo mau mau liburan yang butuh effort lebih banyak belum tertarik sih, karena cicilan belum lunas *eh 🙊.

Lalu, wabah itu datang, si Corona. Sekolah libur, semua dihimbau buat tetap di rumah. Jangankan piknik, keluar beli telor aja mikirnya udah paranoid. Fokus bagaimana caranya meminimalisir tertular virus. Tiada masker cadarpun jadi. Hand sanitizer bolak-balik dipake, pulangnya ganti baju langsung mandi. Tapi bukan tutorial menangkal virus yang mau saya bicarakan kali ini, melainkan tentang merubah haluan.

Jadi ibuk mau berlayar kemane buuuk? 🤣

Gini gaes, ibuk Sara cuma mau ngomongin masalah nengok aja sih ini pake preambule yg panjang banget wkwkwk.

Ketika dunia luar terlihat hingar bingar, kadang tanpa sadar kita akan selalu menambah “sebaris lagi” keinginan. Ingin ini, itu, ga ada habisnya. Macem Doraemon yang punya kantong ajaib, doktrin kapitalisme sepertinya 😅. Bagus sih buat motivasi diri biar terus berusaha, biar keluar versi terbaiknya. (Catatan: teorinya memang seperti ini gaes).

Tapi tapi tapi, semua hal ada efek sampingnya kan. Ketika terlalu fokus sama sesuatu di luar sana, kadang yang ada di dalam malah ga keurus. Padahal apa yang ada di dalam jauuh lebih penting daripada hal-hal di luaran sana.

Pertama, keimanan. Sebenarnya semua tulisan saya seringkali semacam pengingat buat diri sendiri sih meskipun kadang polanya macem orang pidato sambutan di kecamatan 🤣. Termasuk yang ini, siapalah saya mau ngingetin masalah iman. Dhuha aja masih sering keteteran. Tapi tetap ditulis dong, biar kalo dibaca lagi amnesianya ilang. Apakah shalat kita (saya) udah bener? Bacaan quran apa kabar? Kapan terakhir kali kita (saya) mencoba menelisik maksud di balik firman Allah? Doa-doa harian? Dilanjutkan dengan merenung atau lebih dalem lagi berkontemplasi.

Bagaimana sikap kita (saya) selama ini sebagai hamba, mengira2 apakah Allah sudah ridho dengan segala hal yang biasa kita (saya) lakukan? Kalau Allah nggak ridho tapi tetap kita (saya) lakukan, sebenarnya kita (saya) lagi nyari apa? Nyoba jujur sama diri sendiri meskipun kadang susah karena seringnya mencari pembenaran.

Kedua, ada diri kita sendiri yang sesekali perlu kita amati lebih seksama. Ingat nggak, kapan terakhir kali menyapa hati kita? Bagaimana kabarnya? Apakah dia sudah bahagia? Apakah dia berkembang? Atau jangan2 masih berkutat dengan inner child yang belum tuntas? Mumpung di rumah banyak waktu buat rebahan, mungkin hal ini bisa kita coba lakukan demi kesehatan mental yang sesungguhnya.

Ketiga, manusia kecil yang lagi libur sekolah. Ini masalah serius gaes, ga bisa main-main. Titipan dari Allah yang suatu saat akan ditanyain lagi, bagaimana kondisinya? Apakah fitrah keimanannya tumbuh subur atau justru tumbang akibat kelalaian orang tua? (Nulisnya sambil gemeter). Jadi gini, sebelum kita ngajarin semua hal pelik itu pada mereka, saya cuma mau ngumpulin seluruh momijen yang punya utang bonding, perlekatan, atau apapun istilah untuk intimacy antara anak dan orang tua, yuuuk kita cicil biar cepet lunas. Sebelum mereka semakin besar, sebelum ada efek serius yang ditimbulkan, sebelum kita bertemu dengan kata “terlambat.” Anggap saja ini semacam “bonus waktu bersama” yang Allah kasi ke kita ditengah kalender akademik Indonesia yang padat merayap.

Keempat, nganu gaes. Agak malu sebenernya mau bahas. Tapi karena termotivasi oleh love bird yang seharian bisa rukun, saling sayang, mepet2an di dalam kandang, yang punya kan jadi panas semacam kalah start? Wkwkwkwk.

Saya mau bahas pasangan nih. Dalam pernikahan, ada yang disebut ekspektasi, dan hal lain yang disebut realita. Momijen yang pernah baca teorinya Sigmund Freud tentang Id, Ego, Super Ego pasti udah paham betapa kedua hal itu seringkali berbeda. Para momijen yang di alam bawah sadarnya berekspektasi bahwa kebahagiaan akan didapat ketika pasangan melakukan hal2 romantis seperti dalam drama korea. Sedangkan di dunia nyata, rata2 suami biasanya kikuk dan ingah-ingih untuk hal menye-menye semacam itu. Percayalah gaes, itu kalo nggak cepat diatasi malah jadi racun. Racun yang bisa nutupin mata kita dari kebaikan-kebaikan yang suami lakukan. Banyakin syukur ya gaes, coba itu suaminya digorengin telur ceplok dua biji sebagai tanda cinta. Diluar sana ada momijen yang tidak seberuntung kita, yang masih punya babang buat disayang. Pasti ada maksud Allah ngasi kita jodoh semodel itu. Pasti itu yang paling pas buat kita. Allah lebih tau yang terbaik untuk kita. Jadi yuk yuk jangan diomelin terus. Mumpung banyak papijen yang lagi WFH, pantengin itu kumisnya yang belum dicukur biar makin cinta *eh 🤣😴

Semoga semua daleman ini bisa kita rawat lebih sempurna sambil menunggu pandemi ini mereda. Semoga semua ikhtiar kita berbuah manis pada waktunya. Semoga kita tidak lagi salah fokus dengan apa yang penting dan berharga dalam kehidupan kita. Semoga setelah wabah ini enyah, kita bisa “menengok” keluar dengan lebih bijaksana.

Laa haula walaquwwata illa billah.

 
Yogyakarta, 23 Maret 2020.

4 respons untuk ‘Karantina

  1. Kuueereen ibuk… Aku pengen bisa nulis kayak gitu wkwkwk.. . Makasih reminder nya.. MasyaAllah Allah, tabarakallah.. .

    Suka

Tinggalkan komentar